Kelakuan Miftah Langsung Dibayar Tunai

Oleh Agus Wahid

Lidah tergelincir. Langsung viral. Itulah kata “Guoblok” yang meluncur dari mulut Miftah Maulana Habiburrahman, alias Ta'im tertuju kepada seorang tukang penjual es. Jagad Indonesia pun langsung ramai, karena kata kasar tersebut terucap dari seorang yang kini berstatus Utusan khusus Presiden Bidang Toleransi dan Kerukunan Umat Beragama. Sebuah ucapan yang paradoks dengan bidangnya yang harusnya berucap menyejukkan, menenangkan dan mendamaikan.

Kritik pun berdatangan. Sebagai tanggung jawab moral atas ketidakpantasan ucapannya, Miftah pun akhirnya mengundurkan diri dari posisinya. Sportif.

Haruskah diapresiasi sikap Miftah itu? Tergantung dari mana kita menilai. Dalam kontek budaya politik, yang dilakukan Miftah layak diapresiasi. Sebab, pejabat publik atau pejabat negara memang sangat tak pantas mengeluarkan kata-kata yang merendahkan rakyat yang notabene tercatat sebagai tiyang alit, wong cilik (orang kecil).

Sebuah refleksi penting dari pengunduran diri Miftah adalah bagaimana memelihara kata-kata yang tidak menyakitkan orang lain. Yang lebih maknawi, adalah bagaimana menjaga tindakan dan bahkan formulasi kebijakan yang tidak menyakiti rakyat.

Namun, sisi lain yang tak bisa diabaikan, jika dilihat jejak digital Miftah, kita dapatkan data pribadinya yang tergolong melecehkan prinsip keagamaan dan Undang-Undang Politik.

Seperti, berdasarkan data faktual menunjukkan, saat pilpres lalu, Miftah demikian proaktif ikut membagi-bagikan uang kepada khalayak. Posisi uang yang dibagikan jelas terkait pilpres. Sarat kepentingan politik. Bukan, bersedekah tulus. Mengotori budaya politik yang sehat.

Dalam perspektif agama, pembagian uangnya tergolong risywah (menyogok). Salah satu hadits Qudsi menegaskan, “Allah melaknat orang-orang yang menyogok, ataupun yang menerima sogokan”. UU Politik No. 07 Tahun 2017, pun mengatur jelas tentang larangan sogokan (money politik) itu. Ada sanksi hukumnya.

Mengkaitkan hadits Qudsi tersebut, bukanlah tak mungkin, Allah memberikan teguran keras terhadap  Miftah dengan cara lidah “keseleo”. Dengan nada canda, apalagi serius, keluar satu kata kasar dari mulut atau lidahnya yang membuat orang lain tersinggung, apalagi disampaikan di hadapan umum. Akibat lidah keseleo, jabatan bergengsi Miftah dengan sangat terpaksa harus dilepas.

Terlihat sepele cara Allah menghukum seseorang yang telah melecehkan orang lain (menyogok, atau ikut menjadi aktor dalam menyogok) kala pilpres. Kita perlu mencatat, hukuman (laknat) Allah ini perlu dijadikan muhasabah (introspeksi), karena hukumannya bukan kelak. Seperti dibayar kontan. Tidak pakai lama.

Yang pertama dan utama, siapapun di tengah bumi ini tidak boleh merendahkan orang lain. Sikap merendahkan menunjukkan dirinya merasa lebih besar, lebih pandai. Terlihat jiwa takaburnya (ujub). Jika larangan takabur dijalankan, maka sosial ini dibangun akan terjadi sikap saling menghormati antar-sesama. Terjadilah kohesivitas dalam panorama sosial.

Pemandangan tersebut sungguh menenangkan. Dan Indonesia saat ini butuh susana kohesif, tidak hanya di kancah sosial, tapi juga politik dan ekonomi. Perlu kita garis-bawahi, warna kohesivitas bisa menunjang keinginan besar yang bernama persatuan dan Kerjasama yang saling menguatkan. Ketika implikasi ini (persatuan) terbangun, maka tidak terlalu sulit untuk merancang-bangun persatuan yang riil dan jauh lebih produktif.

Warna persatuan riil merupakan modalitas untuk kepentingan kedaulatan negara yang terkait tanah air, energi, pangan. Bahkan, modalitas itu pun bisa menjadi spirit bersama untuk menanggulangi kemiskinan yang meluas. Rasa kebersamaan yang empati itu akan memudahkan sikap untuk membangun gotong-royong, yang secara teoritik dan empirik bisa mengatasi banyak persoalan.

Panorama Miftah menjadi sarana muhasabah dan hal ini layak menjadi renungan para pejabat negara atau pejabat publik pada umumnya. Mereka perlu menyadari, posisinya sesuai amanat konsitusi merupakan pelayanan atau pengabdi. Posisinya itu tidak memperkenankan arogan. Keberhasilan menyingkirkan arogansi akan mendorong dirinya terus terpanggil untuk menghargai rakyatnya, untuk sektor apapun.

Jika kita bukan kembali jejak digital Miftah, dalam sebuah video yang tayang, dirinya sempat ditanya terkait kekuasaan. Jika dirinya ditawari jabatan kekuasaan, Miftah, dengan tegas menyatakan “emoh” (ga mau). Lebih baik mengasuh pesantren saja.

Fakta bicara, Miftah karena pertimbangan ”jasa” menjadi tim sukses Prabowo-Gibran dipanggil Presiden dan diberi jabatan. Ternyata, Miftah menerima posisi yang ditawarkan Prabowo. Langsung luntur idealismenya. Tidak konsisten. Dalam terminologi agama, tergolong munafik. Berbeda sikap dan tindakan dengan hatinya.

Publik pun sempat bertanya-tanya yang bernada mentertawakan kapasitas Miftah. Tapi, itulah politik balas budi. Karena mempertimbangkan jasanya, bahkan kerelaannya membuang prinsip agamisnya. Namun, Allah tampak sayang kepada Miftah: dibikinlah lidah keseleo. Boleh jadi, Allah menyelamatkan Miftah untuk lebih berkhidmat kepada umat. Agar kembali ke lembaga pesantrennya. Agar tidak menjadi manusia yang jauh dari sikap pragmatis, yang selalu sanjung puja kepada pemberi kekuasaan. Hal ini pun menjadi muhasabah untuk kita semua. Tak selayaknya melakukan sanjung puja selain kepada Allah.

Penulis: Analis Sosial dan Politik 

 

Editor : Redaksi