KARAWANG, HINews - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Karawang tinggal menghitung hari. Namun mendekati berakhirnya masa kampanye, sejumlah pelaku usaha mengaku khawatir jika calon kepala daerah yang berlatarbelakang pengusaha akan menjadi penguasa.
"Sebab jika calon kepala daerah yang berasal dari pengusaha itu tentu mindset maupun orientasinya bagaimana dirinya untung tanpa mempedulikan kompetitornya," ujar Firman, salah satu pengusaha yang aktif di bidang konstruksi ini saat berbincang dengan sejumlah awak media di Karawang, Ahad (10/11/2024)
Menurut dia, jika pilkada Karawang itu dimenangkan oleh cabup yang berlatar belakang dari pengusaha, maka penyerapan APBD dikhawatirkan akan berpotensi dimonopoli oleh kelompok tertentu yang merupakan orang dekat bupati terpilih.
Oleh karenanya, dirinya beserta pelaku usaha lainnya sangat berharap agar Pilkada Karawang yang akan digelar pada 27 November mendatang dimenangkan oleh sosok yang bukan berlatar belakang dari pengusaha.
"Kami merasakan betul selama beberapa tahun terakhir ini banyak pengusaha mengeluhkan tidak mendapatkan pekerjaan, karena dimonopoli oleh kelompok tertentu. Nah kejadian ini jangan sampai terulang kembali di era kepemimpinan berikutnya. Oleh karena itu kami berharap Karawang jangan lagi dipimpin oleh kepala daerah yang berlatar belakang pengusaha," pungkasnya.
Sebelumnya, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengaku khawatir dengan banyaknya calon kepala daerah yang akan bertarung pada pilkada yang berlatar belakang pengusaha.
"Yang kita khawatir sebenarnya latar belakang profesi, pengusaha, swasta, itu hampir setengah, yang baru. Padahal, yang petahana dulu, lima tahun yang lalu dia masuk itu juga sudah pengusaha dia, hanya sekarang dia ganti statusnya petahana," kata Pahala dalam konferensi pers, belum lama ini.
Ada dua hal yang menjadi kekhawatirannya. Pertama, adanya kekhawatiran bahwa kepala daerah tersebut akan melakukan perbuatan curang yang menguntungkan perusahaan pribadinya saat terpilih kelak.
Pasalnya, kata Pahala, belum ada aturan yang menyatakan bahwa pengusaha harus melepas usahanya apabila menjabat kepala daerah.
"Jadi bayangkan kalau saya kontraktor, saya masuk, udah gitu kepilih (menjadi kepala daerah). Itu di beberapa daerah istrinya tetap menjalankan karena enggak ada larangan ini," ujar Pahala.
Menurut Pahala, hal itu berpotensi menyebabkan kegiatan pengadaan barang/jasa di daerah menjadi tidak adil karena perusahaan lain menjadi enggan mengikuti lelang.
"Kalau bidding di kabupaten itu biasanya ya agak segan orang itu, kan (perusahaannya) punya kepala daerah," kata Pahala.
Alasan kedua, lanjut Pahala, calon kepala daerah dengan latar belakang pengusaha/swasta umumnya belum begitu memahami dunia birokrasi.
Akibatnya, roda pemerintahan dapat terhambat, bahkan menyebabkan sang kepala daerah tersandung kasus korupsi karena ketidaktahuannya atas rambu-rambu yang berlaku.
"Kalau bedanya cuma memperlambat enggak apa-apa, kalau bedanya kesandung karena dia bilang, 'Saya pikir enggak apa-apa atau apa salahnya saya enggak ambil duit sama sekali', nah itu jadi panjang urusannya," kata Pahala.
Berdasarkan hasil analisis KPK terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LKHPN) yang disetor para calon kepala daerah, kekayaan calon kepala daerah dari kalangan pengusaha/swasta memang lebih besar.
Pahala menyebutkan, rata-rata kekayaan calon kepala daerah berlatar belakang pengusaha/swasta di atas ratusan miliar, sedangkan yang berlatar belakang birokrat maupun dan anggota legislatif di bawah ratusan miliar.
Editor : Redaksi