Laporan Keuangan Semu, Utang PLN Siapa yang Bayar?

Iskandar Sitorus (Ist)
Iskandar Sitorus (Ist)

JAKARTA, HINews - Akhir 2024, PLN tampil bak perusahaan raksasa yang sehat secara finansial. Laporan keuangannya mencatat aset Rp1.772 triliun dan ekuitas Rp1.061 triliun. Namun, angka fantastis itu bukan hasil laba bersih atau dari kinerja bisnis listrik yang kinclong.

Sebagian besar kenaikan itu berasal dari revaluasi aset sebesar Rp48,46 triliun, yang hanya tercatat di ekuitas sebagai Other Comprehensive Income (OCI). Artinya, itu bukan duit nyata yang bisa dibelanjakan.

Baca Juga: IAW Ungkap Jutaan Rekening Dijadikan Penampungan Uang Judol

Dalam kondisi pemerintah mengejar setoran dividen dari BUMN, laporan “cantik” seperti ini bisa menciptakan kesan yang salah. PLN tampak kaya di atas kertas, tapi beban masa depannya tidak ikut disorot.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitotus menegaskan, masalah terbesar PLN bukan cuma laporan keuangan yang “glamor”.

"Sejak lama, PLN terikat kontrak Power Purchase Agreement (PPA) dengan pembangkit listrik swasta. Dalam banyak kasus, PPA disertai jaminan pemerintah (sovereign guarantee). Jika PLN gagal bayar, maka negara yang menanggung," ungkap Iskandar kepada HINews, Rabu (10/9/2025).

Sejarah pernah membuktikan betapa mahalnya risiko ini. Di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pemerintah harus membayar USD 400 juta ke lembaga asuransi investasi milik AS, OPIC, akibat pembatalan kontrak listrik. Itu contoh nyata kewajiban kontinjensi yang dulu nyaris bikin PLN bangkrut!

"Sayangnya, neraca PLN tidak mengungkap secara rinci semua beban PPA ini. Padahal, di negara lain, kontrak semacam ini terbukti jadi bom waktu. Zambia terjerat USD 1 miliar utang PPA, Ghana membayar USD 620 juta untuk listrik yang tidak terpakai, dan Pakistan menanggung USD 500 juta akibat kontrak serupa. Masa mau jadi seperti itu," kata Iskandar.

Oversupply Listrik dan Poyek Aneh-aneh

Sistem Jawa-Bali sudah kelebihan listrik (oversupply), tapi proyek baru seperti PLTU Jawa 9-10 tetap jalan. Pemerintah juga mendorong pembangkit berbasis sampah dengan harga beli USD 20 sen/kWh, tiga kali lipat biaya pokok PLN di Jawa.

"Logikanya, PLN harus membeli listrik mahal yang mungkin tidak dibutuhkan, lalu rakyat yang akan menanggung tagihannya," ujarnya.

Publik sempat mendengar kabar PLN mendapat “pendapatan hedging Rp6,35 triliun”. Faktanya, laporan resmi PLN justru mencatat kerugian kurs Rp6,78 triliun dan instrumen derivatif hanya mengurangi beban bunga Rp0,70 triliun.

"Cara pencatatan ini sah secara akuntansi (FVTPL), tapi tanpa penjelasan yang gamblang, maka angka ini bisa menyesatkan pemangku kepentingan," ungkap Iskandar.

Dalam catatan IAW, dalam 10 tahun temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) namun sayangnya peringatan itu tidak didengar oleh PLN.

Dalam kaitan itu, BPK rutin menemukan masalah, yakni:

1. Subsidi listrik tidak tepat sasaran.

Baca Juga: Bappenas Terbukti Lalai: Utang Korea INA-24 Mangkrak karena Gagal Pengawasan dari Hulu ke Hilir

2. Proyek pembangkit molor dan mahal, ada kelebihan bayar.

3. Piutang ratusan miliar macet

4. Tender batu bara dan peralatan penuh celah kolusi.

"Dengan track record ini, laporan PLN yang “sempurna” justru menimbulkan tanda tanya besar," tutur Iskandar.

IAW Mendorong Adanya Penegakan Hukum

Menurut UU Pasar Modal, di pasal 80, 90 dan 93 sebut penyampaian informasi menyesatkan bisa berujung pidana. Jika laporan keuangan “dipoles” untuk memuluskan dividen atau bonus direksi, maka jalurnya bisa masuk UU Tipikor pasal 2 dan 3. Beban PPA dengan jaminan pemerintah adalah risiko keuangan negara yang wajib diungkap.

"Kasus Zambia, Ghana, dan Pakistan menunjukkan krisis utang akibat PPA. IMF dan Bank Dunia bahkan mengkategorikan kontrak listrik tak transparan sebagai “hidden debt” yang memicu kegagalan ekonomi negara," ungkapnya.

Rekomendasi Indonesian Audit Watch

Baca Juga: Bayi Danantara Dirawat Orang Salah, Gagal Tumbuh Jadi Harapan Bangsa

1. Transparansi penuh PPA, maka PLN wajib buka semua kontrak dan risiko ke publik.

2. Audit khusus BPK fokus kewajiban kontinjensi, proyek sampah kota, dan PLTU baru.

3. Pemeriksaan OJK untuk pastikan tidak ada misleading presentation dalam laporan keuangan.

4. Pre-audit proyek baru dengan audit kelayakan proyek sebelum disetujui.

5. Peran DPR dan publik menagih akuntabilitas PLN agar listrik tidak jadi ladang rente.

Lebuh lanjut, kata Iskandar PLN bukan sekadar perusahaan, ia adalah denyut nadi rakyat. Laporan keuangan yang terlihat indah tapi menyembunyikan bom waktu utang dan kontrak mahal bisa menghancurkan kepercayaan publik. Transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban.

"Jika negara lain bisa tumbang gara-gara kontrak listrik, kenapa kita masih main-main? Saatnya PLN bicara jujur, sebelum listrik rakyat jadi barang dagangan segelintir elit," pungkasnya. **

Editor : Redaksi