JAKARTA, HINews - Pengamat ekonomi Universitas Indonesia. Ninasapti Triaswati menegaskan, tujuan dari adanya bansos memang pencapaian target dengan tujuan politiknya pengentasan kemiskinan.
“Sebenarnya tujuan bansos itu komprehensif bukan hanya memberikan sejumlah uang atau makanan/pendidikan, tapi dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui berbagai kebijakan ekonomi dan keuangan” kata Nina dalam keterangannya, Kamis (8/2/2024).
Baca Juga: Lonjakan Belanja Bansos Dinilai Hanya Dongkrak Elektabilitas Paslon Tertentu
“Jika dibandingkan periode saat ini nilai bansos Rp. 496 triliun, sedangkan periode lalu sebesar Rp. 476 T. Yang menjadi masalah bukan sekedar mencapai atau bahkan tepat sasaran tetapi juga soal pemerataan antar kelompok,” lanjut Nina.
Menurut dia, pada 2013 ke 2014 bansos yang digelontorkan sekitar Rp. 398 T, di akhir era SBY sebesar Rp. 439 T, jadi bisa dilihat dengan jelas bahwa ada lonjakan anggaran sekira Rp40 T.
"Bahkan jika dilihat berdasarkan data, nilai bansos yang paling besar terjadi pada 2020 yaitu sebesar Rp498 T (Pandemi Covid). Kemudian terjadi penurunan kembali ke angka Rp 397 T pada 2021. kemudian naik lagi di 2022 sebesar Rp. 431 dan Rp. 476 di tahun 2023. Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul yakni kepentingan politik?” imbuh Nina.
Sementara itu, Direktur Center Media dan Demokrasi Wijayanto menyampaikan bahwa bansos yang dibagikan saat pemilu merupakan suatu refleksi kegagalan negara untuk memenuhi amanah konstitusi.
Tak hanya itu, bansos yang diberikan adalah refleksi kegagalan birokrasi negara untuk menjalankan bantuan sosial, sehingga terjadinya kegagalan birokrasi dan administratif didalamnya.
Baca Juga: Dinilai Kerap Dipolitisasi, Wacana Penyetopan Bansos Dinilai Bakal Korbankan Rakyat
Wijayanto mengungkapkan, dari tahun ke tahun sejak tahun 2019, buku outlook yang diterbitkan oleh LP3ES memberikan kesimpulan bahwa pemerintah secara konsisten melanggar aturan main demokrasi.
"Salah satunya adalah saat pemilu saat ini, aturan main bisa berupa konstitusi dan undang-undang. Dimana pada saat ini terjadi pelanggaran etika yang terjadi tetapi tetap di lanjutkan," katanya.
Aturan main lainnya adalah bansos yang digelontorkan saat masa pemilu seperti ini, sehingga di bansos tersebut terpasang stiker pasangan calon.
Bahkan, kata dia, dalam buku terbitan LP3ES dengan judul “Demokrasi Tanpa Demos” memiliki makna bahwa demokrasi mengabaikan suara warga, suara demos.
Menurut dia, saat ini banyak sekali, hingga puluhan kampus saut-sautan untuk memprotes keadaan, menyuarakan perlawanan dan mengkoreksi pelanggaran etika. Salah satunya adalah ketidaknetralan pemerintah dalam pemilu ini.
“Rezim presiden Jokowi terjadi selama 4 periode dimana pada 2014-2016 diistilahkan sebagai honeymoon, namun pada 2016-2019 terlihat neo developmentalisme dimana pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan lain sebagainya, pada 2019-2022 terjadi oligarki ugal-ugalan dan pada 2023 hingga saat ini terjadi politik dinasti, politisasi bansos dan pengingkaran konstitusi,” ujar Wijayanto. **
Editor : Redaksi