Oleh : Abdul Rasyid
Peradaban manusia kini bergerak dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Revolusi digital melahirkan perubahan besar dalam hampir setiap aspek kehidupan; cara bekerja, berpikir, berkomunikasi, bahkan cara manusia memaknai dirinya sendiri.
Baca juga: Dukung Two State Solution, DPD LPKAN Jatim Angkat Bicara
Kemajuan peradaban membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki visi, integritas, dan kemampuan memimpin perubahan. Peradaban modern ditopang oleh tiga fondasi utama :
- Ilmu Pengetahuan (Science) : landasan rasional dan empiris pembangunan.
- Keterampilan (Skills): kemampuan aplikatif dan inovatif dalam memecahkan masalah nyata.
- Nilai-Nilai Etika dan Kemanusiaan: arah moral untuk menjaga keseimbangan kemajuan teknologi dan kemaslahatan manusia.
Dalam Forum Silturrahim dan Focus Group Discussion (FGD) Penguatan Jejaring Alumi Lintas Program Studi dan Lintas Angkatan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, yang diselengggarakan pada Sabtu, 04 Oktober 2025, bertempat di lantai 5 GreenSA Inn Jl. Raya Bandara Juanda, Sedati Sidoarjo, muncul pertanyaan mendasar dibalik pesatnya kemajuan teknologi: apakah pendidikan kita sudah mampu menyiapkan manusia yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara keterampilan dan memiliki karakter yang kokoh dalam menghadapi tantangan zaman ?
Dari Akademik Menuju Kompetensi
Selama ini, keberhasilan pendidikan diukur dari capaian akademik, yakni; nilai, ijazah, dan gelar. Padahal, di era digital, indikator itu tak lagi memadai. Dunia kerja dan masyarakat menuntut kemampuan untuk berpikir kritis, beradaptasi cepat, serta mengubah pengetahuan menjadi solusi nyata.
Ilmu akademik tanpa kemampuan aplikatif akan kehilangan daya guna, sementara keterampilan tanpa dasar akademik akan kehilangan arah. Karena itu, keseimbangan antara pengetahuan ilmiah dan keterampilan praktis menjadi kunci membangun manusia unggul yang siap bersaing di dunia global.
Generasi muda perlu menumbuhkan keberanian belajar lintas disiplin. Seorang sarjana teknik harus memahami etika sosial dan komunikasi publik, sementara lulusan ilmu sosial perlu akrab dengan data, teknologi, dan inovasi digital. Dunia masa depan menuntut kolaborasi, bukan sekadar spesialisasi sempit.
Menjadi Subjek Teknologi
Kita hidup di masa ketika kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi menggantikan banyak peran manusia. Namun, ada satu hal yang tak bisa digantikan oleh mesin: kreativitas dan nurani manusia. Dimensi kehidupan pada era kemajuan teknologi akan melahirkan tantangan dan peluang, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Disrupsi Teknologi dan Artificial Intelligence (AI): otomatisasi menggantikan pekerjaan rutin, sehingga kompetensi digital dan berpikir kritis menjadi keharusan.
- Persaingan Global: tenaga kerja dan pelajar bersaing secara internasional, menuntut penguasaan bahasa, literasi digital, dan budaya global.
- Krisis Etika dan Identitas: kemajuan teknologi tanpa nilai dapat menimbulkan alienasi sosial dan dehumanisasi.
- Peluang Inovasi: integrasi akademik dan skill membuka ruang bagi kewirausahaan sosial, riset terapan, dan ekonomi kreatif berbasis teknologi.
Bangsa yang hanya menjadi konsumen teknologi akan tertinggal. Sebaliknya, bangsa yang mampu menciptakan dan mengendalikan teknologi dengan nilai kemanusiaan akan memimpin peradaban.
Indonesia memiliki potensi besar menuju ke sana. Namun, diperlukan pergeseran orientasi, dari pendidikan yang menjejalkan hafalan menuju pendidikan yang menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, empati, dan daya cipta. Transformasi digital bukan hanya soal infrastruktur, tetapi tentang pembangunan cara berpikir digital dan karakter kebangsaan yang adaptif.
Etika dan Spirit Peradaban
Kemajuan teknologi tanpa moral akan kehilangan arah. Peradaban sejati tidak diukur dari banyaknya gedung tinggi atau kecanggihan algoritma, tetapi dari seberapa manusiawi masyarakatnya.
Ketika pengetahuan dan keterampilan tidak dibingkai oleh nilai-nilai etika, maka inovasi bisa berubah menjadi destruksi. Albert Einstein pernah mengingatkan bahwa “kemajuan teknologi tanpa kemajuan moral hanya akan mempercepat kehancuran manusia.”
Baca juga: Gebrak meja, Pidato peduli kemanusiaan Presiden Prabowo
Pendidikan kita harus menumbuhkan harmoni antara ilmu, keterampilan, dan nilai. Guru dan dosen bukan hanya pengajar teori, tetapi penuntun moral dan teladan karakter.
Dalam konteks etika dan spirit peradaban, lembaga pendidikan harus bertransformasi menjadi laboratorium kehidupan, tempat menumbuhkan empati, kolaborasi, dan integritas, bukan sekadar tempat mencari nilai.
Membangun Generasi Pemimpin Peradaban
Membangun peradaban digital berarti menyiapkan generasi yang bukan hanya kompeten, tetapi juga berkarakter. Pendidikan nasional harus melahirkan manusia Indonesia yang berilmu luas, beketerampilan tinggi, dan berakhlak mulia.
Indonesia tak boleh puas menjadi pengikut arus global. Dengan kekayaan budaya dan semangat gotong royong, kita punya modal sosial untuk menjadi pelopor peradaban digital yang humanis.
Teknologi harus diarahkan untuk memperkuat solidaritas, bukan menumbuhkan individualisme, teknologi juga harus menjadi sarana memperluas akses keadilan, bukan memperlebar kesenjangan.
Generasi baru harus disiapkan menjadi pemimpin perubahan, bukan sekadar korban perubahan. Untuk itu, sinergi antara dunia akademik, dunia industri, dan nilai-nilai kebangsaan menjadi keharusan. Pendidikan tidak boleh tercerabut dari realitas sosial dan ekonomi masyarakat.
Baca juga: DPD LPKAN Indonesia Jatim Mantapkan Agenda Pengawasan Aparatur 2025
Penutup
Zaman telah berubah, dan kita tidak bisa menolaknya. Namun, kita bisa memilih cara meresponsnya, dengan kesiapan, bukan ketakutan. Dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zaman ini, maka diperlukan strategi dalam membangunan peradaban diigital sebagai berikut :
- Reformasi Pendidikan: kurikulum harus berorientasi pada problem solving, critical thinking, dan interdisciplinary learning.
- Penguatan Soft Skills: komunikasi, kolaborasi, kepemimpinan, dan empati menjadi pondasi kerja lintas budaya.
- Integrasi Nilai Moral dan Teknologi: membangun manusia digital yang cerdas dan beradab — bukan sekadar melek teknologi, tetapi juga beretika.
- Inovasi Riset dan Kolaborasi Global: kampus dan lembaga riset perlu bersinergi dengan industri dan masyarakat untuk menciptakan solusi berkelanjutan.
Perpaduan antara ilmu akademik, keterampilan, dan nilai kemanusiaan adalah kunci membangun peradaban baru yang unggul dan berdaya saing global. Ki Hajar Dewantara pernah berpesan, “Ilmu tanpa budi pekerti adalah kejahatan, dan budi pekerti tanpa ilmu adalah kelemahan.”
Maka, di era persaingan global digital ini, Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, beserta jaringan alumninya harus melangkah dengan dua sayap seimbang, ilmu akademik yang kuat dan keterampilan yang tajam dengan dilandasi akhlakul karimah, terus menerus harus dirajut tali silaturrahim dan diikat dengan solidaritas almamater yang kuat, agar dapat memberi kontribusi signifikan dalam membangun bangsa Indonesia, hingga mampu bersaing dan terbang tinggi di langit peradaban dunia.
Tentang Penulis :
Abdul Rasyid adalah Alumni Fakultas Adab Jurusan BSA IAIN SA Surabaya Angkatan 1992, pemerhati kebijakan publik, pendidikan dan kebudayaan digital. Aktif menulis isu-isu politik, sosial, kepemimpinan, dan budaya di berbagai media nasional.
Editor : Redaksi