Ketika Penjahat Demokrasi Merusak Konstitusi 

Oleh Abdul Rasyid

Ada adagium yang mengatakan bahwa, kekuasaan itu dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang tidak terkontrol akan menjadi semakin besar, beralih menjadi sumber terjadinya berbagai penyimpangan. Makin besar kekuasaan itu, makin besar pula kemungkinan untuk melakukan penyalahgunaan kewenangan. Bagitulah kondisi negara yang terjadi saat ini.

Baca Juga: Pengamat Militer: Pemerintahan Prabowo harus lebih fokus terhadap keamanan kawasan Natuna dan Papua

Wewenang yang diberikan sebagai sarana dalam melaksanakan amanat dan sumpah jabatan untuk mengadi kepada bangsa dan negera, dipandang sebagai kekuasaan pribadi. Karena itu dapat dipakai untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, pejabat yang menduduki posisi penting dalam sebuah lembaga negara merasa mempunyai hak untuk menggunakan wewenang yang diperuntukkan baginya secara bebas. Makin tinggi jabatannya, makin besar kewenangannya untuk berkuasa.

Bahkan, dalam kontestasi politik jelang pelaksanaan pilpres 2024 mendatang, penjahat demokrasi semakin bergerak secara masif dan bergentayangan. Menyusuri ke seluruh ranah. Tidak hanya ke para pemilih, tapi serangkaian sistem terkait dengan  pilpres pun “diserbu”. Melibatkan komponen “rezim” dan masyarakat profesional yang  pragmatis. Mereka telah melakukan propaganda secara sistmatis dengan opini-opini sesat, penuh kebohongan. Super tendensius.

Di antara mereka dari unsur “rezim”  juga telah menyiapkan perangkat kekerasan fisikal: untuk mengintimidasi siapapun yang berbeda dengan kehendak politiknya. Itulah perhelatan demokrasi per lima tahunan, yang pada pemilu 2024 ini dipenuhi kaum “penjahat” politik. Super sadis.

Sesungguhnya, para penjahat demokrasi di Tanah Air ini sedari awal  sudah merancang pemenangnya. Desain itu untuk mendegradasi demokrasi yang berprinsip pada nilai kejujuran dan keadilan yang  menyurutkan pentas pemilu. Di balik desain itu, rezim dapat legalisasi untuk mempanjang masa kekuasaannya: menambah satu periode lagi, minimal menambah 3 tahun lagi dalam periode kedua ini. Namun, gerakan sisitimatis ini gagal total. Maka, skenario berikutnya menghadang kandidat presiden yang dinilai tak sejalan dengan kepentingan istana. Sampai titik akhir masa pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada 24 Oktober 2023, jam 16.00, skenario penjegalan capres tersebut gagal juga.

Maka, kita saksikan munculnya opsi baru: memaksakan Gibran sebagai pendamping capres Prabowo. Menyingkirkan sejumlah cawapres unggulan lain seperti Yusril Ihza Mahendra, Eric Tohir, Ridwan Kamil, bahkan Erlangga selaku Ketua Umum partai besar (Golkar). Opsi ini menimbulkan akrobat hukum: Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat itu ada dalam kekuasaan Anwar Usman (AU) dimainkan untuk memberikan “karpet merah”. Terbitlah Putusan MK No. 90 Tahun 2023. Melanggar prinsip etika, bahkan sejatinya cacat secara hukum.

Kini, Gibran tampil ikut serta dalam kontestasi kepemimpinan nasional. Istana sadar, tanpa dukungan istana, apalah artinya Gibran, apalagi berpasangan dengan Prabowo yang tercatat sebagai tokoh “masa lalu”. Sisi lain, kualitas keilmuan dan pengalamannya juga jauh dari standar layak. Namun demikian, melihat Gibran tak boleh hanya melihat diri Gibran seorang diri. Tapi, Gibran ini anak siapa. Juga, bagaimana sikap politik sang penguasa.

Variabel itu yang menggiring kita menyaksikan dengan telanjang. Pertama, adanya gerakan sistematis, terstruktur dan massif yang memaksakan pasangan Prabowo-Gibran harus menang dalam satu putaran dengan penggiringan opini publik melalui berbagai lembaga suvey dan didukung oleh media maintream. Dalam kaitan ini, kita jumpai sejumlah sinyal ketidaknetralan ASN dan aparat keamanan dan penegak hukum (kepolisian). Fakta di lapangan sudah sering dijumpai keterlibatan para oknum itu, dalam bentuk intimidasi atau ikut serta memasang baliho-baliho Prabowo-Gibran.

Ketikdaknetralan ini bukan hanya semasa kempanye dan nanti pada hari “H”, tapi sudah dilakukan jauh sebelumnya. Kedua, melalui “otak-atik” data pemilih, pembobolan data KPU, dan melalui Kemendagri munculnya indikasi KTP asli tapi palsu (aspal). Penggandaan KTP, terjadi di dalam negeri. Sekedar gambaran faktual, ada satu KK beranggota 11.300 orang. Irasional. Irasionalitas juga terjadi untuk status KTP aspal di luar negeri. Beberapa waktu lalu, tersiar kabar, di Washington terjadi antrian panjang untuk mendapatkan KTP aspal itu. Tujuan pengurusannya jelas: menjadi pemilih, meski sejatinya siluman. Pemilih siluman seperti ini akan menjadi modus di berbagai belahan dunia dalam kaitan ikut pilpres Indonesia.

Ketiga, keejahatan politik itu kini memasuki tahap kampanye. Yang dilakukan di antara pasangan capres-cawapres bukan sosialisasi program dan gagasan, tapi makan siang dan susu gratis. Dengan terbuka, seorang Gibran akan melakukan model kampanye makan siang dan susu gratis untuk kisaran 400 juta anak-anak. Bicara data, Gibran itu tidak sesuai dengan fakta yang ada. Seluruh penduduk negeri ini, per 2022, sebanyak 275,77 juta jiwa. Dan BPS 2022 mencatat, jumlah anak usia dini: 30,73 juta (2022), naik 11,21% dari tahun lalu. Sedangkan untuk seluruh anak dari usia 1 – 14 tahun sebanyak 18,6 juta (9,74%).

Catatan BPS menggambarkan Gibran dinilai asal bicara. Persoalannya bukan sekedar itu, tapi asumsi angka itu terkait dengan konsekuensi biaya. Jika tetap mendasarkan angka kisaran 400-an juta, maka kalkulasi dananya fantastik. Dengan mendasarkan makan gratis senilai Rp 30.000,- per pack dan susu Rp 10.000 per kotak, plus transport dan jasa pengelola Rp 10.000, berarti totalnya Rp 50.000. Jika tetap mendasarkan data Gibran, maka total nilai program makan gratis dan minum susu gratis selama dua bulan saja (60 hari) bernilai Rp 1.200 trilium.

Dari manakah sumber dananya? Dari Prabowo, Gibran dan atau seluruh keluarganya? Atau, dari mana? Mengutip Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Nefara (LHKPN), kekayaan Prabowo Rp 2.042.682.732.691,- (Dibulatkan Rp 2,04 triliun). Sedangkan, jumlah kekayaan Gibran sebesar Rp 26.032.674.370 (dibulatkan Rp 26 milyar). Andai Jokowi mau bantu, total kekayaan penguasa saat ini hanya sekitar Rp 82 milyar. Sementara, Hashim Djojohadikusumo jika mau bantu Prabowo hanya punya kekayaan sekitar Rp 11 triliun. Jika ditotal, kekayaan mereka kisaran Rp 13,112 triliun.

Baca Juga: Wibisono: Lebih Tepat OPM di Papua Dinamakan Gerakan Separatis Bersenjata

Gambaran angka kekayaan ketiga person itu (Prabowo, Gibran dan bapaknya) menjadi penting untuk memotret sumber dana program makan siang dan minum susu gratis. Dalam hal ini perlu kita kritisi, Prabowo dengan kekayaan kisaran Rp 2,04 triliun salah satu timnya  menginformasikan kepada publik tentang kesiapan Prabowo menggelontorkan dana pemenangan pilpres sebesar Rp 400 triliun.

Hal ini mengundang pertanyaan, apakah sumber dananya akan dicarikan dari Kementerian Pertahanan? Atau, minta bantuan adiknya? Atau, menanti dana “konsorsium” kaum oligarki? Lalu, apakah Gibran melalui hubungan darahnya dengan penguasa akan mendesaknya untuk “mengembat” keuangan negara?

Pertanyaan itu cukup relefan untuk menjawab konsekuensi anggaran untuk makan siang dan minum susu gratis senilai Rp 1.200 triliun. Perlu kita catat  dalam konteks potensi “arisan” kaum oligarki sangat diragukan untuk mengeluarkan ratusan trilyun rupiah. Mereka bukan orang bodoh. Bisa membaca topografi politik pilpres saat ini. Prediksi kemenangan Prabowo-Gibran hanya satu: memanipulasi hasil suara. Sementara, hasil menipulasi ini akan berdampak serius bagi instabilitas negara ke depan. Dengan keyakinan ini, maka kaum oligarki akan ogah bantu program makan siang dan minum susu gratis itu. Jika membantunya, pun ala kadarnya. Sekedar pantas atau ikut partisipasi.

Karena itu, hal keempat yang bakal terjadi adalah kemungkinan penyalahgunaan anggaran (abuse of power). Bisa dari kantong APBN 2023 ini, atau APBD. Jika APBD, pasti akan menimbulkan keributan tersendiri. Sebab, para kepala daerah yang bermuasal dari partai yang kini tak sejalan dengan rezim pasti keberatan untuk mengeluarkan dananya atas nama program sosial pasangan Prabowo-Gobran.

Yang tak boleh lengah, kita perlu menatap potensi alokasi anggaran tidak hanya untuk program makan siang dan minum susu gratis itu, tapi akan diselipkan anggaran untuk kebutuhan serangan fajar. DPT Pemilu 2024 berjumlah 204.807.222 (Sumber Data KPU RI), maka dengan “menyerang” 50% saja dari jumlah DPT Pemiliu 2024 atau sejumlah  102.403.611 pemilih dan masing-masing bernilai Rp 900.000,-  maka total angkanya Rp  92,1 triliun.

Perlu diingat, angka Rp 900.000,- notabene dicairkan sebagai dana kompensasi sosial yang sudah menjadi kebijakan pemerintah. Tapi, tidak tertutup kemungkinan, dana sosial itu akan dikonversi dengan program makan siang dan minum susu gratis. Pengalihan anggaran dana sosial untuk kepentingan politik merebut kekuasaan jelaslah menyalahi aturan karena dana tersebut dipungut dari pajak rakyat. Lagi-lagi, terdapat gambaran penyalahgunaan kekuasaan. Dana sosial untuk seluruh rakyat miskin dikelola hanya untuk mendukung dan pemenangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024. Tidak fair.

Meski tidak fair, para penjahat demokrasi itu tak akan segan melakukan moral hazardnya, terkait keuangan negara atau kekuasaan lainnya. Lalu, apakah pecinta negeri ini akan biarkan kejahatan sistematis itu? Tidak. Kejahatan harus dilawan. Caranya? Tetap perkuat barisan untuk menghalau gerakan para penyesat dari kaum buzzer dan lembaga-lembaga survei bayaran itu. Siapkan mental untun membangun militansi anti intimidasi dan kriminalisasi. Dan yang jauh lebih krusial adalah perkuat saksi dengan dukungan sistem IT yang super canggih.

Baca Juga: Pengamat Militer: Kondisi Keamanan Laut China Selatan Semakin Serius

Totalitas perlawanan itu jelaslah perlu dana taktis. Lalu, siapkah kita keluarkan kocek ratusan triliun rupiah? Jawabnya kembali pada penilaian kita: akankah kita rela negeri ini jatuh ke tangan neokolonialis? Siapkah kita menjadi budak mereka? Apakah NKRI harga mati hanya slogan? Jika semua itu dijawab “tidak”, maka hanya satu kata untuk kita kobarkan: lawan dengan sekuat tenaga. Dalam hal ini kita bertanya pada diri kita punya apa: pikiran, tenaga, atau finansial? Inilah yang perlu kita persembahkan. Untuk melawan kekuatan para penjahat demokrasi.

Pertanyaan mendasar lagi, apakah kekuatan finansial kita mencukupi? Jika keterpanggilan itu menjadi pelecut semangat pada setiap diri, dan di antara kita siapkan donasi angka Rp 1.000.000 saja, maka dengan 50% jumlah penduduk katakanlah 130-an juta orang maka akan terkumpul dana sebesar Rp 130 triliun. Dengan sistem managemen yang bagus dan amanah, maka dana “nasionalis-patriotis” ini akan mampu mengalahkan para pejahat demokrasi di Tanah Air ini. Inilah perjuangan politik pada pilpres 2024 yang akan menentukan nasib bangsa dan negara Republik Indonesia yang kita cintai kedepan.

Penjahat Demokrasi telah menghina dirinya sendiri dengan membiarkan martabatnya jatuh tersungkur ke jurang yang dalam. Melakukan transaksi kekuasaan dengan kebohongan publik, menebar fitnah, menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan, bertopeng, dan sederet perilaku busuk lainnya demi menguasai kekayaan sumber daya alam Indonesia. Budaya malu sudah lama berpisah dalam berdemokrasi. Akal sehat digantikan oleh ketidakwarasan, nurani telah lama tumpul. Kita semua sebagai anak bangsa bisa saja terjebak dalam lingkaran setan politik kekuasaan ini, jika tidak hati-hati, waspada, berfikir logis dan ekstrawaras.

Jika fenomena buruk ini berlanjut, tidak mustahil sebuah bangsa dan negara ini akan menggali kuburan masa depannya, justru di tangan anak-anak bangsa sendiri yang tanpa moral dan etika merusak konstitusi dan regulasi demi ambisi berkuasa. Tentu kita berharap bahwa situasi Indonesia belum seburuk itu, tetapi sikap antisipatif diperlukan agar virus kejahatan atas nama demokrasi tidak semakin menggerogoti kultur dan budaya bangsa dan negara ini, yang telah ditauladankan oleh para pendiri negeri.

"Demokrasi melalui sistem pemilu yang jujur dan adil adalah upaya mencegah orang-orang jahat untuk berkuasa"


Penulis: Analis Politik dan Sekjen LPKAN Indonesia

Editor : Redaksi

Opini   

Kondisi Eropa Yang Berubah Sekularistik

Oleh : Wibisono Di berbagai penjuru Eropa , ada fenomena menarik yang terjadi di mana gereja-gereja yang tidak lagi digunakan untuk ibadah diubah…