Komnas HAM Dorong Penghapusan Hukuman Mati

avatar Harian Indonesia News

JAKARTA, Hinews - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berharap, aparat penegak hukum, khususnya hakim agar mempertimbangkan penghapusan vonis hukuman mati. Di sejumlah negara, vonis hukuman mati telah dihapuskan secara bertahap.

"Hanya tinggal beberapa (negara) lagi, termasuk Indonesia yang mengadopsi hukuman mati," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik melalui pernyataan resminya, Selasa (5/4).

Baca Juga: Jampidsus Akan Perluas Kategorisasi Korupsi Agar Bisa Dituntut Hukuman Mati

Taufan merespons vonis hukuman mati terdakwa Herry Wirawan, pemerkosa belasan santri yang dijatuhkan hukuman mati oleh hakim banding di Pengadilan Tinggi Bandung. Dia menilai, jika Herry atau kuasa hukumnya melakukan upaya hukum lanjutan, hakim di tingkat kasasi harus mempertimbangkan hukum mati yang mulai dihapuskan.

Jika diperhatikan dalam road map hukum pidana yang digunakan Indonesia, kata dia, di dalam RKUHP memang masih ada hukuman mati, tetapi bukan suatu hukuman yang serta merta. Artinya, masih diberikan kesempatan kepada terpidana mati selama dalam satu periode tertentu untuk diasesmen atau dievaluasi. Jika terpidana mati berkelakuan baik, bisa saja hukuman tersebut diturunkan menjadi lebih ringan.

 

Taufan mengatakan, bagi Komnas HAM, korban adalah pihak paling utama yang harus diperhatikan. Karena itu, Komnas HAM mendorong adanya restitusi dan rehabilitasi.

Taufan mengatakan, kasus pemerkosaan oleh Herry bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia atau dalam ruang lingkup institusi pendidikan. Pemerintah juga telah mengeluarkan Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang berupaya mencegah kekerasan hingga praktik perundungan seksual di ranah pendidikan. Tetapi, kata dia, yang perlu diingat juga mengenai HAM dan perlindungan bagi korban serta rehabilitasi yang harus dibenahi dalam sistem yang digunakan selama ini.

Kuasa hukum Herry, Ira Mambo, pada Senin (4/4), mengaku belum memutuskan apakah pihaknya akan mengajukan kasasi. Sebab, mereka belum menerima putusan resmi vonis hukuman mati terhadap kliennya dari Pengadilan Tinggi Bandung. "Setelah kami memegang putusan baru kami atau memberikan pendapat, tentu berdiskusi dulu dengan HW," kata dia.

Hakim PT Bandung mengabulkan banding yang dimohonkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dengan memvonis Herry Wirawan hukuman mati. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Bandung memvonis pelaku pencabulan terhadap 13 santriwati dengan hukuman seumur hidup.

“Menerima permintaan banding dari jaksa atau penuntut umum. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati," ucap Hakim PT Bandung yang diketuai Ketua Pengadilan Tinggi Bandung Herri Swantoro seperti dikutip pada laman Pengadilan Tinggi Bandung, Senin (4/4/2022).

Dalam putusan tersebut Herry tetap dijatuhi hukuman sesuai Pasal 21 KUHAP jis pasal 27 KUHAP jis pasal 153 ayat (3) KUHAP jis ayat (4) KUHAP jis pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis pasal 241 KUHAP jis pasal 242 KUHAP. PP nomor 27 Tahun 1983, Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan.

Baca Juga: Komnas HAM Tanggapi Lambatnya Penetapan Tersangka Kasus Kerangkeng Manusia

Hakim menilai perbuatan Herry Wirawan telah terbukti bersalah sesuai dengan pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan (5) jo pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

Perhatikan restitusi

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan, hal terpenting yang harus dipastikan dari putusan terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak, Herry Wirawan, adalah pemenuhan restitusi kepada para korban. Sebab, para korban harus melanjutkan hidupnya, termasuk para bayi yang dilahirkan.

 

"Kalau pelaku di hukum mati, lalu korban dapat apa? Adilkah untuk korban? Yang penting restitusi dipastikan pemenuhannya," kata Retno, Selasa (5/4).

Menurut dia, para korban harus melanjutkan hidupnya. Para korban memiliki masa depan yang masih panjang, termasuk para bayi yang dilahirkan. Semestinya, kata Retno, restitusi juga dihitung hingga ke para bayi yang dilahirkan tersebut karena sama-sama menjadi korban.

Baca Juga: Komnas HAM Ungkap Perbudakan di Kerangkeng Langkat

"Seharusnya dihitung restitusinya juga, karena bayi-bayi itu juga Korban. Jadi restitusi Rp 330 juta terlalu kecil," ungkap Retno.

Meski begitu, diabmengaku mendukung pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat terkait pembebanan pembayaran restitusi pada putusan terhadap Herry Wirawan. Di mana majelis hakim menyatakan pembebanan pembayaran restitusi kepada negara akan menjadi preseden buruk dalam penanggulangan kejahatan kekerasan seksual pada anak.

“Saya sangat mendukung keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menyatakan bahwa pembebanan pembayaran restitusi kepada negara akan menjadi preseden buruk dalam penanggulangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak,” ujar Retno, dikutip dari republika.

Sebab, kata Retno, apabila pembebanan pembayaran restitusi diberikan kepada negara, para pelaku kejahatan akan merasa nyaman tidak dibebani ganti kerugian berupa restitusi kepada korban. Menurut dia, hal itu juga berpotensi menghilangkan efek jera dari pelaku.

"Hal ini sangat berbahaya bagi perlindungan anak dari kejahatan seksual," terang Retno.(qqdylm)

Editor : A1H