Oleh: Agus Wahid
Sebuah reportase menarik, sekaligus bikin sesak nafas. Itulah sikap Sekjen DPP PKS, Abu Bakar, “Putusan politik sudah diambil. Tak akan mundur”, ucapnya menjawab pertanyaan wartawan seusai deklarasi Ridwan Kamil Suwono (RK-Sus) sebagai calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) Jakarta. Berarti, PKS tak mau lagi mengusung Anies Baswedan sebagai cagub Jakarta.
Baca Juga: Debat Capres: Tampak Jumawa Tapi “Miskin” Logika
Tak heran jika Abu Bakar Al-Habsyi selaku sekjen mempertegas bahwa PKS tidak akan mundur untuk mendukung pasangan RK-Sus di Pilkada DKI. Sebab berdasarkan informasi, bahwa partai yang berbasis umat itu, salah satu pengurusnya saat ini tengah tersandera kasus dugaan tindak pidana. Sehingga PKS tidak leluasa dalam menentukan arah koalisi sesuai harapan umat.
Pengsungan RK-Sus menggambarkan PKS masuk ke dalam Koalisi Indonesia Maju. Muncul catatan, bagaimana nasib politik umat? Pertanyaan ini layak dilontarkan sejalan dengan relasi historis politik PKS dan umat.
Tak bisa dipungkiri, saat ini PKS satu-satunya partai yang berasaskan Islam, meski berbungkus Pancasila (landasan filosofis bernegara) dan UUD 1945. Karena kejelasan asas itu pula ditambah perjalanan politiknya menunjukkan komitmen keislamannya yang kuat, maka kita saksikan grafik perkembangan dukungan umat terhadap jatidiri PKS, dari tahun ke tahun, hingga kini posisinya tergolong lima besar.
Tak bisa dipungkiri, keberadaan umat memberikan kontribusi besar bagi jatidiri PKS, dari anasir fungsionaris dan para pendukungnya. Dan itu exist dari level tertinggi (DPRD hingga DPR RI) di seluruh tanah air.
Existing mereka secara kelembagaan membuat gerakan sosialisasi programnya demikian efektif dalam menjangkau umat selaku masyarakat. Termasuk, sosialisasi kebijakan politik kontestasi pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg) dan satu lagi, pemilihan kepala daerah (pilkada).
Sebuah pertanyaan mendasar, apakah PKS akan membesar tanpa dukungan umat, katakanlah, sebagai konstituen? No. Existing (besarnya) PKS di lembaga legislatif maupun di pemerintahan tak lepas dari dukungan umat.
Karena itu, selaku fungsionaris, PKS harus mampu bermuhasabah terkait kontribusi umat terhadap lembaga partai dan atau positioning kader PKS di parlemen dan atau pemerintahan. Sebuah positioning yang membuat PKS dipandang sejajar di mata partai-partai lain, sehingga sering didekati menjadi mitra strategis dalam kepentingan pilpres dan atau pilkada.
Tidak hanya sebagai pemenuhan syarat kesertaan kontestasi, tapi juga proyeksi misi kemenangan. Tak bisa dipungkiri, kader PKS tergolong militan. Karena itu, PKS senantiasa dipandang penting dalam hal kontestasi itu.
Sekali lagi, positioning PKS itu tak lepas dari kontribusi umat, khususnya para konstituen. Kini, dalam kaitan pilkada, di antaranya Provinsi Jakarta, PKS dengan telanjang mengabaikan suara gemuruh umat. Meski awalnya, sudah menyatakan dukungannya terhadap Anies dan berpasangan dengan Sohibul Iman (AMAN), namun keputusan yang direkomendasikan Majlis Syura beberapa waktu lalu akhirnya diabaikan. Diganti dengan mengusung Suswono.
Yang sangat disayangkan, bukan mempersoalkan Suswono sebagai calon wakil gubernur Jakarta itu, tapi bergabungnya dengan KIM, sekaligus meninggalkan Anies. Inilah yang membuat umat sangat kecewa. Karena itu, kecewaannya akan diekspresikan dengan cara meninggalkan entitas PKS. Dalam pilkada di manapun, umat sudah berteriak, siapapun calon kepala daerah yang diusung PKS tak akan dipilih. Akan terjadi snow bowling effect dari bergabungnya PKS di Jakarta bersama KIM ke daerah-daerah lainnya.
Baca Juga: Pengamat Nilai Gus Miftah Miliki Peran Penting Dongkrak Elektabilitas Prabowo
Maka, ada dua hal yang layak kita cermati. Pertama, PKS akan kehilangan suara (dukungan) massif yang berpotensi besar gagalnya sejumlah kader PKS dalam kontestasi pilkada. Tidak tertutup kemungkinan, untuk jangka panjangnya saat pileg 2029, perolehan suara PKS akan mengalami drop secara signifikan. Hal ini akibat dari keangkuhannya, Tak hiraukan suara umat.
Yang lebih menyedihkan sebagai hal kedua umat sudah tak percaya lagi pada PKS, sehingga mereka tak akan mau menyampaikan aspirasinya ke PKS, di level pusat maupun daerah. Boleh jadi, para anggota Dewan masih tetap siap melayani aspirasi umat. Tapi, umat sudah tak mempercayai lagi (distrust).
Harus kita garis-bawahi, sikap umat seperti itu sungguh merupakan kerugian besar bagi PKS. Tak bisa dipungkiri, PKS kehilangan “ruhnya” atau sandaran politiknya akibat umat meninggalkannya.
Yang lebih memprihatinkan, akibat distrust umat itu, maka resikonya umat sendiri menjadi bancakan politik bagi banyak partai oportunis yang obral janji. Karena sudah distrust terhadap PKS, maka petualangan partai politik lain akan direspon positif. Dirinya menilai sama saja antara partai Islam versus partai sekuler, bahkan partai atheis.
Implikasi tersebut menggambarkan positioning politik umat benar-benar ga ada harganya. Umat hanyalah komoditas politik bagi kaum politisi petualang. Bagai buih di samudera. Mudah diombang-ambingkan. Hal ini menggambarkan, hak-hak politik umat mendatang sesungguhnya terinjak-injak. Tak punya harga diri. Dan tak bisa memperjuangkan haknya. Semua implikasi ini tentu haruslah menjadi pertanggungjawaban para elitis PKS saat ini, di dunia ini, juga kelak di akhirat. Kepemimpinan terhadap umat pasti diminta pertanggungjawabannya di hadapan Sang Khaliq yang Maha Adil.
Sebuah renungan, apakah keliru sikap umat konstituen itu? Jumlah umat bukanlah satu atau dua gelintir orang. Mereka tak punya kepentingan pragmatis yang bersifat duniawi. Mereka hanya menuntut satu hal: terjaga kepentingan marwah keislamannya, dalam aspek duniawi-ukhrawi. Karena itu, perbedaan mendasar kepentingan menjadi parameter untuk menilai on and off the tracknya.
Baca Juga: Fenomena Goyang Gemoy
Dengan memandang parameter kepentingan itu, kiranya sejumlah elitis DPP PKS sebagai sang “imam” telah melakukan kekeliruan. Para “makmum” merasa perlu dan sudah mengingatkan kekeliruannya ketika shalat berjamaah (mengambil keputusan politik). Karena mengabaikan peringatan, maka batallah shalat (komando) sang imam. Karena itu, kita bisa memahami ketika para ma`mum melakukan mufarraqah (memisahkan diri). Dan hal ini sudah kita saksikan dengan sikap 28 para anggota Dewan Pakar DPP PKS yang mengundurkan diri dari barisan DPP PKS. Pengunduran dirinya merupakan protes yang berlandaskan nurani keislaman. Tentu karena sang imam telah melakukan kekeliruan dan mengabaikan peringatan dini.
Perlu kita catat, panorama mufarraqah para ma`mum (basis massa) jangan dipandang sebelah mata. Hal ini menyangkut masa depan lembaga PKS sebagai partai, juga nasib umat yang tak punya lagi saluran yang dipercaya.
Sebuah pertanyaan akhir, apakah PKS akan tetap mengabaikan suara umat yang bergemuruh itu? Jika tetap bergabung dengan KIM dan menyingkirkan Anies, berarti sang “imam” memang telah batal. Wajib dikoreksi secara serius. Perlu mempercepat reorganisasi kepemimpinan di level DPP.
Namun, jika PKS tetap pada pendiriannya dan mengakibatkan topografi politik umat berantakan dan lemah, hal ini mengundang kecurigaan tertentu ada operasi terselubung. Karenanya, entitas PKS sebagai wadah politik umat harus diceraikan dari basis pendukung fanatiknya.
Lebih dari itu, operasi itu tampak dirancang untuk memperlemah posisi umat dan negeri ini yang memang mayoritas muslim. Karenanya tokoh muslim potensial seperti Anies juga tak boleh diberi kesempatan sebuah wilayah, apalagi negara. Karena agenda strategis ini pula, PKS harus membatalkan pengusungnya terhadap Anies yang berpotensi menjaga kedaulatan teritorial Jakarta dan bahkan negara untuk masa depan.
Penulis: Analis Politik
Editor : Redaksi