Mencermati Manuver PKS Garis “Fulus”

Iustrasi
Iustrasi

Oleh: Agus Wahid

Banyak pihak menyayangkan. Itulah sikap banyak elemen masyarakat saat menyaksikan PKS akhirnya bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM). Beda sikapnya saat menyaksikan PKB dan NasDem yang langsung merapat ke rezim penguasa saat ini atau mendatang. Sudah jelas landasannya: ada pertimbangan cengkraman hukum dan atau pendongkelan dari kerajaan partai yang dipimpinnya.

PKS? Itulah. Catatan menunjukkan, pimpinan PKS tak terbayang-bayangi dosa (kriminal). Jauh dari potensi tsunami yang akan menggoncang partainya. Lalu, apa urgensinya merapat ke KIM?

Spekulasi yang berkembang liar adalah masalah fulus dan godaan lainnya: jabatan kementerian. Jika memang ini landasannya, mengapa tidak dari dulu. Mengapa harus oposisi selama dua periode? Toh, rezim Jokowi pun telah menawarinya. Kalau memang alasan fulus, mengapa tidak memperkuat barisan Prabowo pada pilpres 2024 lalu?

Memang, siapa yang tak tergiur dengan rupiah, apalagi plus jatah kementerian. Manusiawi. Rasional. Namun, PKS sudah menjadi trade mark sebagai partai ideologis. Tak mempan “suap”. Tegar hadapi godaan duniawi. Keteguhan ini karena landasan ideologisnya sebagai partai dakwah.

Lalu, mengapa kini berubah? Jawabannya, di antara elitis DPP PKS masih terwarisi budaya politik “madzhab kesejahteraan”. Publik dapat mencatat, periode 2014 – 2019, madzhab kesejahteraan tersingkir dari barisan madzhab keadilan. Mereka akhirnya mendirikan partai tersendiri (Partai Gelora). Tapi, ada anasir madzhab kesejahteraan masih ada yang bertahan dan akhirnya berhasil menduduki posisi strategis dalam struktur kepartaian.

Itulah kata kunci keberhasil menebarkan virus madzhab kesejahteraan. Akibatnya, barisan madzhab keadilan lunglai, meski sejatinya jauh lebih powerful positioningnya. Namun, kesederajatan posisi sebagai sesama elitis, mendorong pemangku kekuasaan dari unsur madzhab kesejahteraan mampu menggedor para penegak ideologis dalam tubuh DPP PKS itu.

Hal ini terbaca jelas, Presiden PKS bahkan sebagian Majlis Syura yang masih menjunjung tinggi khittah idealistik kalah tergempur dari kekuatan madzhab kesejahteraan yang tampak jelas dikomando sekjennya. Dengan tawaran yang menggiurkan, kapan lagi kesempatan itu datang. Lepas dari kesempatan itu, belum datang kesempatan kedua.

Yang menyedihkan, kalkulasi pragmatis dari segelintir elitis DPP PKS menjadi rusak citra dan masa depannya. Sudah bermunculan gelombang reaktif anti PKS yang sudah pragmatis itu. Mereka sangat kecewa dengan perubahan integritasnya sebagai garda pembela kebenaran dan keadilan. Juga, sebagai penampung aspirasi ideal masyarakat. Tapi, kini masyarakat tak punya lagi garda terdepan lagi manakala keadilan dan kebenaran kian diinjak-injak.

Sebuah pertanyaan mendasar, di tengah elitis PKS yang sudah berubah itu, masihkah ada yang tetap istiqamah sesuai khitahnya yang idealistik? Tentu masih ada. Namun, barisan idealistik ini tak berdaya selama barisan madzhab kesejahteraan masih merengkuh kekuasaan dalam struktur kepartaian.

Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan, madzhab keadilan akan tampil lagi. Untuk menggeser barisan madzhab kesejahteraan. Persoalan yang sama tampaknya akan berulang lagi di tengah DPP PKS, seperti periode sebelumnya. Mereka terpanggil karena rasa cintanya yang mendalam terhadap partainya (PKS). Terpanggil, agar tidak terjadi bayang-bayang pahit. Yaitu, ditinggalkan umatnya. Sangat disayangkan, investasi yang dibangun sejak 1998, harus terhempas setelah mengalami success story.

Tentu, tidak mudah bagi internal PKS yang masih bergaris lurus untuk melawan dominasi pemangku kekuasaan yang sudah pragmatis itu. Tapi, inilah tantangan yang memang harus dijawab. Demi menjaga umatnya tetap bersama PKS, barisan Garis Lurus harus mampu mendayung di antara dua pulau besar. Yaitu, menjaga umat agar tetap memandang positif terhadap PKS saat ini karena masih terdapat barisan Garis Lurus di dalamnya. Di sisi lain, dalam lingkungan internal, harus terbangun kekuatan pendongkel dominasi praktisi pragmatis itu. Tantangan tak ringan.

Di sisi lain barisan Garis Lurus akan memiliki legitimasi ketika para kadernya yang ikut pilkada banyak yang menjebak. Di manapun kontestasi pilkada yang salah satunya diusung PKS justru ditinggalkan massanya. Kegagalan PKS dalam panggung pilkada bisa menjadi dalih untuk mendongkel kepengurusan yang pro miliaran dan atau triliunan rupiah itu.

Karenanya, masih ada harapan bagi partai dakwah untuk kembali ke khitahnya. Tetap idealistik. Tak terkecoh oleh rayuan maut duniawi. Namun, harapan itu sangat tergantung dari ketegaran barisan Garis Lurus yang ada di PKS itu. Umat memang berharap rekonstruksi sikap politik PKS itu. Tapi, umat tak memiliki hak organisasional untuk melawan PKS pro pragmatis itu. Yang bisa dilakukan hanyalah, “say good bye” PKS, for a temporary time or forever. Inilah suara masyarakat luas. Menyedihkan.

Penulis: Analis Politik

Editor : Redaksi