Pemindahan IKN dan Ancaman Kedaulatan Negara

Oleh: Abdul Rasyid

Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) segera dilakukan setelah Rancangan Undang-Undang tentang IKN telah disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang (UU). Tak hanya itu, pemerintah juga sudah memilih "Nusantara" sebagai nama ibu kota negara.

Baca Juga: KSP: Pihak yang Memiliki Tanah di Wilayah IKN dapat Mengajukan Klaim

Bahkan, sejumlah infrastruktur pendukung sudah mulai dibangun. Tak tanggung-tanggung, beberapa pengusaha nasional tersohor menyatakan ikut bergabung dalam proses pembangunan Ibu Kota Negara tersebut.

Ada bebrapa alasan Ibu Kota pindah. Di antaranya populasi terlalu padat, Kontribusi ekonomi pada PDB, Krisis air bersih, Pertumbuhan Urbanisasi Sangat Tinggi, Ancaman bahaya Banjir, Gempa Bumi, dan Tanah Turun di Jakarta.

Pemindahan Ibu Kota dinilai lari dari masalah dan persoalan yang ada di Jakarta. Padahal, permasalahan itu tak perlu dihindari, justru harus diselesaikan. Dan Ibu Kota Nusantara (IKN) bukanlah kerangka solusi integral atas berbagai persoalan yang dihadapi di Jakarta. IKN juga bukan prioritas pembangunan, karena dalam masa bersamaan, negara menjumpai fakta masih demikian banyak sarana pendidikan dan kesehatan bahkan lainnya yang jauh dari kata layak. Faktornya keterbatasan anggaran, yang notabene tersedot untuk membangun IKN. Atas nama keadilan, anggaran pembangunan IKN perlu direlokasi untuk menyelesaikan problem mendasar bangsa. Harus diprioritaskan. Itulah di antara jawaban yang  menyangkut pemindahan ibukota negara dari Jakarta Kalimantan Timur.

Ada argumen yang lebih mendasar: terkait dengan masa depan kedaulatan negara. Dan argumen ini memang tak perlu dijawab dengan kata-kata. Jawabannya memang dengan aksi konkret. Atas dasar kepentingan national security and national interest. No ribut. Senyap.

Melalui tulisan ini, kita perlu menganalisis agenda besar pembangunan IKN. Beberapa hal yang perlu dianalisis adalah kesepakatan rahasia Xie Jin Ping Jokowi terkait migrasi sekitar 200 juta orang China ke Indonesia. Akan sangat kentara untuk merealisasikan kesepakatan itu jika tanpa desain pembangunan “kreatif”. Kita tahu, pembangunan Reklamasi Pantai Jakarta Utara dan Meikarta (Cikarang) sejatinya bagian dari ikhtiar untuk menampung sejumlah migran China yang direncanakan. Tapi, kedua proyek strategis itu tergolong gagal total. Karena itu, kegagalannya “dijawab” dengan IKN. Sebagai pengganti megaproyek itu.

Secara kebijakan, processing politik legislasinya berhasil. Menampak pada terbitnya UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Nusantara (IKN), meski tanpa studi kelayakan yang optimal dan partisipan reviewer yang meluas. Terlihat banget terburu-buru. Mengejar target sesuai order. Mumpung Jokowi masih berkuasa. Tak peduli dengan tindakan yang sarat dengan abuse of power, rezim dengan kekuasaannya  memaksa seluruh ASN dan TNI-POLRI yang berada di lingkaran pemerintahan pusat harus pindah ke IKN. Rasional. Merupakan konsekuensi dinas.

Hal itu di satu sisi menjadi kaharusan bagi negara untuk menyediakan fasilitas dinas, dalam bentuk perumahan (apartemen) dengan berbagai klas. Secara psikologis, belum tentu diterima oleh kalangan ASN yang tergolong eselon I. Sudah terbiasa dengan bentuk tempat tinggal mewah. Sementara, pegawai kelas rendahan harus mikir seribu kali karena harus kost, yang berarti harus ada pengeluaran rutin, dan kebutuhan hidup yang mungkin lebih mahal di IKN daripada kebutuhan hidup di Jakarta.

Namun, suka atau tidak, mereka pindah ke ibukota negara baru. Implikasinya adalah potensi penolakan di antara mereka untuk hijrah permanen ke IKN. Hal ini berarti ada sejumlah formasi lowong. Di sinilah, lowongan pekerjaan akan diisi oleh kaum migran China. Berapa jumlahnya? Tergantung formasi yang ditinggalkan oleh ASN kita. Potensinya besar, karena memang ada skenaro bagi ASN untuk enggan pindah ke sana.

Secara prediktif, jumlah migran China yang mengisinya akan signifikan, meski bertahap. Tapi, satu hal yang perlu dicatat adalah pengisian jabatan eselon I atau di bawahnya merupakan “sesuatu” banget bagi kepentingan negara. Yaitu, pegawai migran China menjadi partisipan aktif dalam kegiatan pemerintahan Indonesia. Di jantung pemerintahan, lagi. Mereka akan mengetahui informasi banyak hal tentang berbagai kebijakan strategis negara.

Persoalannya, tidak akan terhenti di satu. Tapi, seluruh informasi tentang kebijakan Indonesia akan terposting atau tertransfer ke negeri leluhurnya: China. Maka, posisi para pekerja China di IKN sejatinya the spyer resmi, dilindungi dan difasilitasi negara (Indonesia). Luar biasa. Mendapatkan sejumlah data rahasia negara tanpa harus berliku. Melakukan kejahatan serius tapi tak dianggap penjahat. Bahkan, terfasiitasi negara kita sendiri. Super aneh memang. Tiada duanya di jagad raya ini.

Baca Juga: Jokowi: Pemindahan IKN karena Ada Ketimpangan Ekonomi

Perlu ditegaskan, segudang catatan rahasia negara sudah dalam genggaman China. Maka, China  kapan waktu sangat mudah menekan Indonesia untuk kepentingan negeri Tirai Bambu. Dan Indonesia tak akan bisa berkata tidak. Harus mengikuti kemauan China. Tunduk total. Inilah tahapan awal neokolonialisasi negeri kita tanpa agresi militer, meski yang awal dikuasai wilayah IKN sebagai pemerintahan pusat.

Sisi lain, pembangunan sarana dan prasarana TNI-POLRI di IKN. Proses dan realisasi pembangunannya pasti melibatkan anasir China. Dengan argumentasi sumber dana dominan dari China, maka Indonesia tak akan bisa menolak keterlibatan pembangunan sarana dan prasarana TNI-POLRI. Hal ini akan menjadi celah tersendiri: China memiliki saluran data terkait kepentingan taktis-strategis TNI-POLRI. Sekecil apapun penguasaan data dan informasi seputar TNI-POLRI menjadi hal strategis bagi China. Dan hal ini menjadi ancaman serius bagi kepentingan nasional Indonesia ke depan.

Satu lagi yang perlu kita analisa lebih jauh. Sejauh ini sumber dana pembangunan IKN sangat terbatas. Pada 2018, Menteri Bappenas menyampaikan kisaran angka pembangunan IKN sekitar Rp 600 triliun. Dalam praktikya, jika kita cermati konstruksi APBN yang mutakhir saja (2024), sektor pembangunan infrastruktur (termasuk IKN) hanyalah Rp 422,7 triliun. Nilai ini naik 5,8% dari proyeksi realisasi anggaran infrastruktur 2023 yang bernilai Rp 399,6 triliun. Berarti, jika alokasi anggaran IKN hanya mengandalkan APBN pasti terjadi kemelorotan pembangunan. Karena itu, pasti melibatkan konsorsium, baik dari unsur domestik ataupun asing.

Sejauh ini, investor asing sepi peminat dalam megaproyek IKN, karena menilai tidak menarik, meski banyak kompensasi ditawarkan, di antaranya Hak Guna Bangunan sampai 160 tahun dengan grace of period (free of tax) selama 30 tahun. Hal ini karena masa depan IKN tidak jelas. Tidak ada jaminan keberlanjutan setelah Jokowi lengser. Dalam kaitan inilah yang berani investasi hanya China. Landasan kalkulasinya bukan ekonomi dan bisnis, tapi memang ideologis. Yakni, partisipasi aktif dalam pembangunan IKN hanyalah tahapan awal untuk menguasai negeri ini. Inilah beda cara pandang dengan para investor negara-negara lain. Dan memang, siapapun yang pijakan investasinya dari sisi bisnis dan ekonomi, di depan mata, IKN adalah megaproyek rugi. Bakal mangkrak.

Namun, China tetap melangkah. Tentu, China tidak akan mungkin sampaikan pertimbangan ideologis itu. Tapi, kalkulasi prospektif secara ekonomi. Karena itu, dia berani obral besar, meski ekonomi dalam negeri China saat ini sedang mengalami decline akbat persoalan besar daging babi.
Tanda-tanda pemburukan ekonomi China tampak jelas minggu lalu. Pada Sabtu lalu (9/12/2023), China merilis data Consumer Price Index (CPI) maupun Producer Price Index (PPI) yang mengalami deflasi. CPI China terpantau mengalami deflasi 0,5% year on year (yoy). Sementara PPI China juga deflasi 3% yoy pada periode November 2023 atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni deflasi 2,6% yoy. Meski demikian, dengan angkuhnya negeri Tirai Bambu siap membangun seluruh fasilitas pemerintahan pusat. Landasannya demi kepentingan ekonomi nasional China dan kejayaan negerinya secara ekspansif. Dengan landasan itulah yang membuat Xie Jin Ping tetap menyodorkan proposal kerjasamanya: build operation system (BOT) untuk IKN itu.

Dalam hal ini  minimal terdapat dua kesepakatan. Pertama, selagi masa pembayaran, Indonesia wajib memperkenankan migran China menjadi “pegawai” pemerintah pusat, untuk mengisi posisi apapaun. Kedua, setelah selesai pembayaran, seluruh sarana dan prasarana milik Indonesia, tapi pegawai China tetap harus dipertahankan.

Baca Juga: Anggota DPR Ingatkan Kepala Otorita IKN Pertimbangkan Suara Lokal

Dua klausul tersebut lagi-lagi  menjadi ancaman serius bagi kepentingan nasional Indonesia. Keberadaan pegawai China akan menjadi informan yang sangat mengkhawatirkan kedaulatan negeri kita. Dan jauh semakin terancam kepentingan negeri kita saat selesai pembayaran BOT itu. Benar-benar terjadi penguasaan total seluruh aset infrastruktur pemerintahan pusat.

Kita bisa bayangkan, betapa Indonesia benar-benar ada di bawah ketiak China. Itulah sebabnya, kita perlu mencatat, IKN bukan sebatas solusi atas persoalan Jakarta. Juga, bukan sekedar masalah prioritas pembangunan saat ini yang memang masih dalam panorama desparitas sosial-ekonomi yang kontras. Tapi, IKN sarat dengan persoalan nasib bangsa dan negara ke depan. Terkait dengan kedaulatan kita, selaku anak bangsa dan negeri. Kita dibayang-bayangi migrasi China kisaran 200 juta sesuai kesepakatan kedua manusia itu.

Yang perlu dicatat leih jauh, dengan komposisi kisaran 60% dari total jumlah penduduk nasonal Indonesia, maka statusnya akan dibangun baru: bukan lagi hanya migran, tapi menjadi penduduk warga negara Indonesia (WNI), meski mereka menganut dwi kewarganegaraan. Topografi sosial kependudukan ini jelas akan mengubah topografi politik Indonesia ke depan. Ketika dilakukan pemilu nasional (pilpres, ataupun pileg), bahkan pilkada, terutama di wilayah IKN, maka mereka berpotensi menjadi pemenang. Pada akhirnya, kepemimpinan nasional akan berpindah ke mereka yang sesungguhnya migran. Luar biasa agenda pemindahan status negara. Tanpa perang dan merogoh uang milyaran Yuan. Slow but sure: menjadi Indochina.

Lalu, haruskah kita biarkan megaproyek yang sarat dengan eganda pelenyapan existing negeri dan bangsa ini atau kolonialiesme gaya baru atas nama pembangunan? Bangsa yang cerdas dan benar-benar cinta tanah air harus katakan “no forever”. Dan saat ini ada momentum untuk bersikap tegas: jangan pilih calon pemimpin yang pro IKN, siapapun kandidatnya. Inilah sikap patriotik dan nasionalis sejati.

Penulis: Sekjen Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) Indonesia

Editor : Redaksi