Oleh: Idrus Money
Ahir-akhir ini publik dibuat terpana dengan dinamika ketatanegaraan di Tanah Air, betapa tidak hampir 16 Profesor yang memiliki kompetensi di bidang hukum khususnya ilmu ketatanegaraan memiliki satu sikap yang tegas bahwasanya ada kekeliruan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 berkaitan dengan syarat dan batas usia menjadi bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden.
Baca Juga: Putusan MK Soal Ambang Batas Parlemen di DPR Tuai Pro Kontra
Atas laporan akademisi dan sejumlah profesor hukum, gayung bersambut, maka Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar sidang yang dipimpin oleh mantan Hakim Konstitusi Prof. Jimly Asshiddiqie.
Jika kita merunut kepada putusan yang dibuat oleh majelis Mahkamah Konstitusi, maka terdapat second opinion atau pendapat berbeda dari tiga anggota hakim konstitusi (Dissenting Opinion) 3 hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Ketiganya menilai seharusnya Mahkamah menolak permohonan Pemohon. Menurut mereka bahwa putusan yang dihasilkan menggambarkan sesuatu di luar kebiasaan praktek ketatanegaraan.
Lalu bagaimana kita memaknai putusan yang terlanjur dihasilkan oleh Majelis Mahkamah Konstitusi? Secara jelas kita memandang bahwa sah-sah saja apa yang diputuskan oleh oleh mahkamah konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Anwar Usman, namun pendapat berbeda muncul ke publik ketika dikaitkan hubungan antara ketua MK dengan hasil putusan yang diarahkan seakan-akan untuk memenuhi kepentingan Putra Mahkota dari Presiden Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka.
Baca Juga: ETOS Indonesia Ingatkan Publik Untuk Waspadai Bangkitnya Gaya Represif Orba
Praktik ketatanegaraan kita seakan mencerminkan suatu sikap apatis dan membungkam nalar publik, padahal apa yang kita perjuangkan selama ini untuk menghindari praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sehingga wajar bila politisi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu menggunakan hak konstitusionalnya untuk meminta dilakukannya hak angket terhadap putusan MK tersebut.
Publik tinggal menunggu bagaimana sensitivitas anggota dewan untuk menyuarakan aspirasi publik yang tersumbat karena adanya dugaan konspirasi pihak pihak tertentu yang hanya berpikiran pragmatis dan mementingkan kepentingan jangka pendek semata demi merealisasikan kelompok tertentu/golongan tertentu.
Baca Juga: Pasca Amar Putusan MKMK: Peta Baru Politik Nasional
Jika hak angket dapat digelar sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1954 tentang penetapan Hak Angket DPR Jo. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR dan DPD-RI Jo. Pasal 20 A UUD 1945 maka, apabila disetujui akan berdampak kepada impeachment kepala negara bila dilihat dari hubungan relasi antara keputusan MK yang dihasilkan dan keputusan tersebut kemudian di arahkan untuk kepentingan penguasa (nepotisme). Semoga demokrasi yang kita bangun bukanlah ibarat membangun Istana Megah di atas Pasir.
Penulis: Praktisi Hukum dan Direktur Eksekutif Progres Indonesia Institut
Editor : Redaksi