SURABAYA, HINews - Angka 3 Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 112/PUU-XX/2022 yang menyatakan bahwa Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan” telah menimbulkan polemik di masyarakat.
Masyarakat menganggap terdapat tendensi adanya upaya pimpinan KPK melanggengkan kekuasaannya. Terlebih Nurul Ghufron yang sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua KPK sendirilah yang melakukan permohonan Pengujian undang-undang kepada MK.
Dalam pertimbangannya MK menjelaskan pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional importance telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar dan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut MK, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance, yakni 5 (lima) tahun sehingga memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan.
Lebih daripada itu MK berpendapat bahwa masa jabatan pimpinan KPK yang diberikan oleh Pasal 34 UU 30/2002 selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan telah ternyata menyebabkan dalam satu kali periode masa jabatan Presiden dan DPR yaitu selama 5 (lima) tahun in casu Periode 2019-2024, dapat melakukan penilaian terhadap lembaga KPK sebanyak 2 (dua) kali yaitu dalam hal melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK. Dalam hal ini, secara kelembagaan, KPK diperlakukan berbeda dengan lembaga negara penunjang lainnya namun tergolong ke dalam lembaga constitutional importance yang sama-sama bersifat independen dan dibentuk berdasarkan undang-undang karena terhadap lembaga constitutional importance yang bersifat independen tersebut, yang memiliki masa jabatan pimpinannya selama 5 (lima) tahun, dinilai sebanyak satu kali selama 1 (satu) periode masa jabatan Presiden dan DPR.
Sebagai contoh, Presiden dan DPR yang terpilih pada Pemilu tahun 2019 (Periode masa jabatan 2019-2024), jika menggunakan skema masa jabatan pimpinan KPK 4 (empat) tahun, maka Presiden dan DPR masa jabatan tersebut akan melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 (dua) kali yaitu pertama pada Desember 2019 yang lalu dan seleksi atau rekrutmen kedua pada Desember 2023.
Penilaian sebanyak dua kali sebagaimana diuraikan di atas setidaknya akan berulang kembali pada 20 (dua puluh) tahun mendatang. Namun, jika menggunakan skema masa jabatan pimpinan KPK selama 5 (lima) tahun, maka seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK dilakukan hanya satu kali oleh Presiden dan DPR Periode 2019-2024 yaitu pada Desember 2019 yang lalu, sedangkan seleksi atau rekrutmen untuk pengisian jabatan pimpinan KPK Periode 2024-2029 akan dilakukan oleh Presiden dan DPR periode berikutnya (Periode 2024-2029).
Permasalahannya belum ada bukti konkret terkait korelasi antara meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dengan masa jabatan pimpinan KPK. Terlebih kesan subyektifitas melanggengkan masa jabatan Pimpinan KPK demi kepentingan pribadi nampak jelas pada halaman 117 pertimbangan MK yang menyatakan bahwa “mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan”.
Apapun pertimbangannya MK telah memutus masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun. Meskipun harus diwarnai drama dengan dissenting opinion dengan 4 hakim MK yang lain yang menyatakan berbeda. Pertanyaan selanjutnya masa jabatan tersebut berlaku bagi pimpinan KPK sekarang ataukah pimpinan KPK yang akan datang? Pertanyaan tersebut sejatinya telah terjawab dalam undang-undang MK itu sendiri. Pasal 47 Undang-Undang MK menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Korelasi yang dimaksudkan adalah setiap putusan MK berlaku forward looking (prospektif kedepan), dan tidak backward looking (melihat kebelakang).
Dalam konteks hukum pidana, Pasal 47 Undang-Undang MK tersebut disebut sebagai asas non retroaktif (asas tidak berlaku surut). Non retroaktif sendiri dimaksudkan bahwa setiap peraturan yang baru terbit tidak berlaku bagi perbuatan pidana yang terjadi sebelum terbitnya peraturan tersebut. Apabila dikorelasikan terhadap Putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, maka Pimpinan KPK yang akan dilantik mendatanglah yang akan menjabat selama 5 tahun, bukan pimpinan KPK yang menjabat saat ini.
Hal tersebut dikarenakan pimpinan KPK periode sekarang dilantik dan harus menjabat selama 4 tahun berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang KPK yang lama. Apabila terjadi perubahan dalam peraturan di tengah jalan, maka peraturan lama tetap mengikat bagi pimpinan KPK yang sekarang menjabat. Tidak ada korelasi antara peraturan yang baru dengan berjalannya kepemimpinan KPK yang telah berjalan.
Putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK sejauh ini belum diputuskan akan diperuntukkan bagi Pimpinan KPK periode yang mana. Akan tetapi yang jelas MK telah memperpanjang daftar putusan yang menuai polemik dengan hasil akhir kalkulasi jumlah 5 banding 4 melalui dissenting opinion. (*)
Keterangan foto :
Herlambang Ponco Prasetyo, S.H. (Advokat dan Dir. Penanganan Perkara Lembaga Kajian Hukum dan Advokasi Indonesia)
Editor : TMC1